PENGANTAR ILMU POLITIK ISIP4212
"Walaupun banyak perbedaan, namun karena demokrasi kita baik, maka kita dapat hidup dengan damai," ujar Kalla dihadapan peserta World Peace Forum (WPF) ke-4, Sabtu (24/11/2012).
Dalam pemaparannya Kalla didampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, dan pimpinan Cheng Ho Multi Culture Education Trus, Tan Sri Lee Kim Yew dari Malaysia. "Demokrasi sangat baik dan penting bagi negara multikultural seperti Indonesia, karena itu Indonesia memilih demokrasi sebagai alat pembangunan mencapai kesejahteraan," kata Kalla.
Setiap negara menjalankan demokrasi dengan kelebihannya masing-masing, tak ada yang bisa klaim yang satu lebih baik dari yang lain. Di sinilah, menurut Kalla, perlunya melakukan pendidikan demokrasi dengan baik dan kepemimpinan yang baik.
WPF merupakan forum tingkat dua tahunan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bekerja sama dengan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), dan Cheng Ho Multi Culture Education Trust dari Malaysia.
WPF ke-4 ini dibuka oleh Wakil Ketua MPR-RI Hajriyanto Y Tohari dan diikuti 200 peserta dari dalam dan luar negeri. Peserta tersebut terdiri dari tokoh politik, pemimpin organisasi, akademisi, dan aktivis perdamaian.
Acara ini menekankan pentingnya konsolidasi demokrasi multikultural, identitas dan multikulturalisme, yang sangat menentukan bagi terciptanya perdamaian dan peningkatan demokrasi. WPF akan diakhiri dengan pidato puncak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu (25/11/2012) di Istana Bogor.
DEMOKRASI
MULTIKULTURAL
Sabtu, 1 Desember 2012 15:47:53 -
oleh : redaksi - views 225
http://mitranews.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=4056&judul=demokrasi-multikultural.html,
diunduh pada tanggal 19 Maret 2013, 9:08AM
Demokrasi multikultural yang kuat, teduh, dan stabil sangat diperlukan untuk
menjamin perdamaian sejati. Demikian ungkapan Susilo Bambang Yudoyono pada
pembukaan The 4th World Peace Forum (WPF) yang diprakarsai oleh Muhammamdiyah
pada 23 - 25 November 2012 di Bogor Jawa Barat.Pertemuan ini bagi seluruh kalangan sangat luar biasa di tengah bangsa Indonesia mengalami krisis moral dan kontraksi sosial, terutama dalam perilaku demokrasi yang sedang kita anut bersama. Bukan main, 50 tokoh dunia dari 21 negara dan 100 peserta dari berbagai kalangan seperti tokoh agama, praktisi politik, intelektual, bisnis, dan media lokal maupun media internasional.
Visi demokrasi multikultural adalah membangun peradaban dalam dialog dan mengedepankan keharmonisan. Sisi lain, tantangan demokrasi kita saat ini krisis moral dan estetika sehingga makna demokrasi sedikit ditinggalkan termasuk terjadinya gejala-gejala impunitas media, korupsi, penjarahan, penyelewengan konstitusi dan lain-lain.
Menurut Robert W Hefner (2012) bahwa demokrasi multikultural harus disepadankan dengan agama mayoritas maupun minoritas sebagai jalan menuju pengakuan kemajemukan diantara masyarakat dunia. Indonesia pun menjadi lahan besar nan subur untuk memberikan kontribusi positif dalam menciptakan tatanan perdamaian di seluruh dunia dengan ciri khas gaya multikulturnya yang unik sehingga dapat menjadi contoh bagi negara lainnya seperti eropa, AS, dan Timur Tengah.
Agama dan Multikultural
Konsep agama tentu harus diakui sebagai ujung tombak perbaikan sistem sosial (kulltur). Agama mengajarkan kebaikan, saling memahami, menghormati, menghargai dan harmonis. Hubungan dengan demokrasi tentu sangat erat kaitannya ketika kita membahas wacana demokrasi dan realitas masyarakat multikultural.
Menurut Sri Lee Kim Yew (kompas 24/11/2012) mengatakan bahwa semua agama mengajarakan kebaikan. Agama itu perlu terus di kampanyekan dalam ruang kehidupan masyarakat melalui pendidikan yang benar. Karena dengan agamalah makna lain demokrasi akan tercapai sebagaimana harapan. Untuk membangun hubungan antar agama harus melalui dialog, diskusi, dan penciptaan kondisi harmonis sehingga pengembangan gaya hidup multikultural merupakan syarat utama dalam sebuah negara damai dan harmonis.
Pendapat lain, Din Syamsuddin (2012) mengatakan bahwa tentu agama yang benar menekankan pada penghargaan atas keberagaman sebagai hukum alam yang harus diterima ditengah pergulatan realitas perbedaan. Maka karena itu, sangat perlu pengembangan demokrasi multikultural dalam dimensi kemanusiaan.
Bagaimanapun demokrasi multikultural adalah produk bangsa Indonesia yang harus dijaga kelestariaannya ditengah keberagaman masyarakat sehingga terciptanya kerukunan yang saling mengisi dalam pembangunan bangsa ini. Jika kita bandingkan dengan Eropa dari dulu hingga sekarang ini, bahwa Eropa tidak memiliki sejarah pluralismenya. Struktur sosial kemasyarakatan cenderung di dominasi oleh kalangan menengah ke atas yang belatarbelakang ras satu sehingga Eropa di kenal dengan "No Rasion". Begitu juga ditimur tengah saat ini yang sedang menumbuhkan demokrasi di situasi serba sulit karena dominannya "religion rasism" (rasisme agama).
Faktor pendukung demokrasi multikultural adalah membangun kekuatan baru dengan kesamaan visi baik secara ideologi politik, agama, ekonomi maupun budaya sehingga demokrasi dan agama dalam proses perbedaan tersebut dapat saling mengisi satu sama lain atas spirit bersama membangun perdamaian dunia. Susilo Bambang Yudoyono (2012) mengatakan bahwa keberadaan demokrasi dan agama merupakan hasil reflektif perjalanan suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut harus siap menerima segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan budaya. Berbeda dengan demokrasi di negara homogen, dimana Indonesia akhir 1990-an memulai reformasi dan demokratisasi yang kini masih berupaya mematang demokrasi dengan segala aspek ekonomi, sosial, agama dan politik.
Demokrasi dan agama di Indonesia sudah bergerak maju ke arah yang lebih baik dan selalu berkelindan sepanjang masa untuk memperbaiki segala perkembangan sosialitas masyarakat. Walaupun disisi lainnya, demokrasi Indonesia mengalami pasang surut. Prinsip demokrasi harus berupaya terus dikembangkan seiring pembentukan nilai-nilai moral dalam struktur kekuasaan maupun masyarakat agar kualitas demokrasi dapat terjaga dengan baik. Problem lain demokrasi kita adalah soal multi partai, pilkada langsung yang belum matang, kesiapan masyarakat dalam memainkan peran demokrasi multikultural tersebut masih lemah. Dengan demikian, tantangan tersebut harus secara terus menerus diperbaiki melalui imajinasi dalam lingkup damai, harmonis dan etos kerja yang benar.
Koeksistensi
Fenomena menarik dari demokrasi multikultural adalah terjadinya koeksistensi, dimana tingkat kesulitan demokrasi bertambah banyak karena Indonesia pasca reformasi menganut sistem multipartai sehingga proses politik dan perjalanan panjang model birokrasi tak terhindarkan. Memaksimalkan demokrasi multikultural harus memasang telinga pada dua tempat perbedaan yakni kaum mayoritas dan minoritas. Keduanya ini harus diasosiasikan atau berada dalam jaringan aspirasi politik yang dikombinasikan melalui pemahaman tentang penting multikultural secara menyeluruh. Karena apapun namanya, bahwa kemajemukan itu tidak akan bisa dihindari sampai kapan pun. Negara-negara demokrasi multikultural harus menggali dan melaksanakan hidup rukun, aman berdampingan, harmonis, damai dan toleran serta koeksistensi.
Apalagi demokrasi multikultural Indonesia dipengaruhi oleh tatanan ekonomi global dan jaringan komunikasi informasi. Dimana masyarakat Indonesia dituntut untuk mampu melawan arus besar ini yang senantiasa membawa dampak negatif dengan merasuki dan membawa sistem masyarakat pada materialisme hedonisme.
Selain itu juga menurut Azyumardi Azzahra (2012) mengungkapkan realitas fundamentalisme dan ekstrimisme dalam khasanah demokrasi maupun aliran keagamaan yang mempengaruhi tatanan kelas menengah. Sehingga sebagian kelas menengah agama mengalami disorientasi dan kesadaran keIndonesiaan seolah hilang dalam pikiran generasi beragama tersebut.
Dengan demikian, kondisi ini tentu harus diperbaiki oleh seluruh kalangan baik itu Muhammadiyah, NU, intelektual, pastur, patikan, kiyai, tuan guru, ulama, akademisi, ustad dan melibatkan struktur besar masyarakat. Maka karena itu, koeksistensi sangat perlu diantara berbagai kalangan diatas. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam peradaban dunia yang damai dapat terwujud.
Multiculture Visit Indonesia
Membentuk wawasan demokrasi dan tatanan kebangsaan Indonesia ditengah perkembangan dunia tanpa batas, utamanya soal kemajuan faktor teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi kebutuhan bangsa ini pada sisi batas negara dan ras kebangsaan yang jelas. Tanpa identitas tersebut, boleh jadi nilai demokrasi multikultural dan kekuatan kebangsaan akan hilang dalam perjalanan waktu.
Multiculture Visit To Democracy Of Indonesia merupakan rangkaian refleksi sejarah, untaian suara rakyat sebagai alur aspirasi politik, tradisi serta potensi sumber daya alam yang memikat dan terpancar dalam prilaku demokrasi bangsa Indonesia. Kebersamaan yang sungguh-sungguh dalam membangun negara demokrasi multikultural.
Membenahi institusi politik dan demokrasi merupakan tugas yang sangat penting saat ini. Seluruh rakyat dan pemerintahan harus mendedikasikan secara penuh untuk memperbaiki demokrasi dan keharmonisan dalam keberagaman. Maka oleh karena itu, setiap warga negara yang peduli dengan masa depan bangsa, maka wajib memikirkan keberlangsungan demokrasi persfektif multikultural ini. Kunci kemajuan suatu bangsa adalah ditentukan oleh keberhasilan mendidik asas multikultural sebagai maenstream peradaban damai. Keberhasilan itupun tolak ukurnya tentu didasarkan pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan hukum.
Demokrasi multikultural akan berjalan efektif apabila keragaman yang berkemajuan itu sebagai pemaknaan dari aturan main (etika) dari struktur masyarakat. Karakter vital demokrasi multikultural ini adanya keterbukaan dan melibatkan institusi agama, ormas, tokoh dan lainnya dalam pengambilan keputusan. Institusi ormas yang mendukung demokrasi multikultural adalah institusi yang pro-kemajuan dengan menjadikan demokrasi substantif, transendental, dan bukan hanya prosedural.
Meski demikian, untuk memastikan kemajuan bangsa juga membutuhkan peran civil community, dimana civil community ini sebagai bagian dari pendidikan caracter building dan pembentukan generasi clean goverment, seperti Muhammadiyah dengan kekuatan lembaga pendidikan (amal usaha)-nya.
Menurut Mitsuo Nakamura seorang antropolog dan peneliti Islam Universitas Chiba Jepang (2012), mengatakan Muhammadiyah telah mendorong gagasan keagamaan yang kuat dan bersifat moderat. Kendati dorongan itu masih menyisakan tantangan berat dan rumit. Haris Azhar (2012) dalam sebuah diskusi mengungkapkan bahwa konflik sosial terus berulang dengan pola dan model kekerasan yang identik rasis. Kasus-kasus serangan terhadap minoritas dan tawuran institusi pendidikan merupakan ketegangan komunal sepanjang tahun 2012 ini. Berbagai pihak yang teridentifikasi terlibat dalam konflik tersebut yakni antar kampung, dusun dan kelurahan atau desa yang masuk dalama wilayah territorial. Tercerabutnya modal multikultural ini yang kemudian menjadi konflik adalah soal identitas, sosial dan budaya yang rentan dengan kepentingan politik seperti pemilukada maupun konflik sampang madura antara syiah sunni. Dengan demikian, kesadaran multikulral itu perlu dipupuk agar subur sehingga tidak terjadi konflik rasis yang justru menghabiskan energi.
Sekali lagi mengutip apa yang disampaikan oleh Din Syamsuddin ketika membuka WPF itu dibogor (2012) mengatakan aksi-aksi kekerasan yang terjadi dan meletup di Indonesia maupun dibanyak negara lainnya dipicu oleh gesekan rasialis dengan latarbelakang etnik, agama, suku, dan kelompok, padahal sebagian negara telah menempatkan sistem demokrasi. Bagi bangsa Indonesia sistem demokrasi telah diterima sebagai mekanisme politik bernegara. Sistem ini menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kekuatan utama, dalam masyarakat yang majemuk tentu demokrasi sangat perlu semangat multikultural.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang akan menjadi laboratorium besar bagi proses demokratisasi dalam masyarakat multikultural. Tak mudah untuk menjalankan proses itu, karena memiliki letak geografis yang sangat luas.
Energi Multikultural
Bangsa ini hidup dalam sekian episode perjalanan sejarah yang masing-masing membawa dampak positif maupun negatif. Terbukti dengan kekuatan pemahaman multikultural bangsa ini mampu melewati seluruh fase tersulit. Maka kedepan, bangsa ini harus mampu memengaruhi tatanan sosial untuk diarahkan pada pembangunan visi bersama dalam konteks multikultural sehingga tujuan bangsa itu sendiri tercapai. Selain itu juga, pemimpin sebuah bangsa dengan pemahaman multikulturalnya harus berkelindan dan menyatu dalam konsep kebangsaan. Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki keteguhan, visi, dan tanggungjawab yang besar atas nasib bangsanya sendiri.
Mengutip Yusuf Kalla (kompas, 27/11/12) mengatakan bahwa ada dua masalah besar yang menghambat kemajuan suatu bangsa dalam konteks membangun energi sosial multikultural adalah pertama, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan aparat pemerntahan. Kemudian kedua, kemampuan ekonomi Indonesia harus lebih baik untuk mengatasi kesenjangan.
Kemajuan bangsa dan negara dalam ranah pembangunan modal multikultural sebagai ujung tombak pemeliharaan demokrasi sangatlah vital. Sistem apapun yang dianut oleh suatu negara tetap akan bisa maju apabila di pimpin secara baik dan benar, katakan saja sistem otoriter China, sistem demokrasi liberal Amerika Serikat, sistem semiotoriter Malaysia dan Singapura dan masih banyak contoh bangsa lain yang mengalami kemajuan bukan karena sistemnya namun daya upaya pemimpin bangsa untuk atas nama rakyat dan keputusannya pun untuk rakyat semata.
Maka oleh karena itu, Syafi'i Ma'arif (2012) mengatakan bahwa multikultural merupakan tenda besar bangsa indonesia untuk mewujudkan tatanan sosial kemanusiaan. Seluruh kekuatan potensial rakyat wajib memperluas pergaulan baik dengan kelompok mayoritas maupun minoritas dengan dasar kebangsaan. Semangat multikultural harus diwujudkan secara otentik dalam kehidupan masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Selain itu juga, bangsa ini harus mengakui segala macam bentuk perbedaan karena semuanya memiliki hak hidup dan hak berkarya. Instrument demokrasi multikultural ini adalah energi besar yang harus direalisasikan secara bersama agar rakyat dapat hidup penuh damai. Negara juga harus mendorong kesadaran patuh terhadap konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan. Dengan kesadaran energi multikultural maka semua komponen akan bisa diajak kerjasama untuk mencapai kemajuan demi memformulasikan keragaman itu sesuai zaman dengan berbagai bentuk aliansi harmonis antar semua kelompok dan corak perbedaan.
Penulis adalah Rusdianto Direktur Segitiga Institute Jakarta Dan Alumni Universitas Muhammadiyah Mataram 2008, Sekarang sedang menempuh Pasca Sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Dipo
Alam: Hormatilah Pluralisme
http://mitranews.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=147&judul=dipo-alam:-hormatilah-pluralisme.html,
diunduh tanggal 19 Maret 2013, 9:12AM
Rabu, 9 Maret 2011 12:11:10 - oleh :
redaksi - views 493
Jakarta (Mitra
News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan, tidak hanya kelompok
mayoritas yang dituntut harus paham serta melindungi hak dan kewajiban
kelompok minoritas beragama, tetapi sebaliknya minoritas juga harus
paham serta melindungi hak dan kewajiban mayoritas.
"Agar sama-sama mencegah penistaan agama, dan bersama pula mencegah kekerasan
antarumat beragama," katanya di Jakarta, Rabu (9/3)
Dipo mengingatkan agar kelompok lintas
agama eksklusif kalau mau melakukan gerakan politik terselubung,
janganlah mengusung soal agama, dan menamakan sebagai gerakan moral.
Ia meminta semua pihak menghormati pluralisme dalam beragama sesuai dengan
UUD dan turunannya dalam SKB Tiga Menteri, tetapi bukan dengan
mengorbankan kepahaman setara antara hak dan kewajiban minoritas dan
mayoritas.
Dipo menegaskan bahwa pemerintah jelas sangat serius
dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik
berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik
kekerasan.
"Tidak perlu lagi diajari, kita masing-masing tahu makna dalam asas Pancasila. Janganlah satu dua kejadian, yang bersama kita kutuk sebagai kekerasan dengan alasan keyakinan agama, kemudian seolah dengan mudah digeneralisasikan menganggap pemerintah lalai dan
melakukan pembiaran kekerasan," ujarnya.
Konflik umat Islam dengan Ahmadiyah sudah berlangsung lama, tidak hanya terjadi di
pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dipo
Alam mengingatkan, tokoh agama memiliki tanggung jawab yang sama dengan
pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era demokrasi sebagai
pemangku kekuasaan --termasuk juga media-- untuk bersama-sama menyejukan
kerukunan beragama.
"Bukan sebaliknya, gaduh memperkeruh
kerukunan beragama antara minoritas dan mayoritas. Konflik horizontal
yang pernah kita alami sangatlah pahit dan memilukan. Itu memerlukan
waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikannya," tegas Dipo.
Sebelumnya,
diberitakan bahwa dalam konferensi pers di Kantor Maarif Institute,
Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan Lintas Agama, Fajar Riza Ul Haq
mengatakan, gerakan tokoh lintas agama sama sekali tidak pernah secara
kolektif bicara polemik Ahmadiyah.
"Tetapi kekerasan terhadap
kelompok minoritas harus disikapi serius oleh negara, karena melindungi
minoritas adalah amanat konstitusi, dan yang menjadi titik tekan gerakan
ini," kata Fajar. (AR)
News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan, tidak hanya kelompok
mayoritas yang dituntut harus paham serta melindungi hak dan kewajiban
kelompok minoritas beragama, tetapi sebaliknya minoritas juga harus
paham serta melindungi hak dan kewajiban mayoritas.
"Agar sama-sama mencegah penistaan agama, dan bersama pula mencegah kekerasan
antarumat beragama," katanya di Jakarta, Rabu (9/3)
Dipo mengingatkan agar kelompok lintas
agama eksklusif kalau mau melakukan gerakan politik terselubung,
janganlah mengusung soal agama, dan menamakan sebagai gerakan moral.
Ia meminta semua pihak menghormati pluralisme dalam beragama sesuai dengan
UUD dan turunannya dalam SKB Tiga Menteri, tetapi bukan dengan
mengorbankan kepahaman setara antara hak dan kewajiban minoritas dan
mayoritas.
Dipo menegaskan bahwa pemerintah jelas sangat serius
dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik
berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik
kekerasan.
"Tidak perlu lagi diajari, kita masing-masing tahu makna dalam asas Pancasila. Janganlah satu dua kejadian, yang bersama kita kutuk sebagai kekerasan dengan alasan keyakinan agama, kemudian seolah dengan mudah digeneralisasikan menganggap pemerintah lalai dan
melakukan pembiaran kekerasan," ujarnya.
Konflik umat Islam dengan Ahmadiyah sudah berlangsung lama, tidak hanya terjadi di
pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dipo
Alam mengingatkan, tokoh agama memiliki tanggung jawab yang sama dengan
pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era demokrasi sebagai
pemangku kekuasaan --termasuk juga media-- untuk bersama-sama menyejukan
kerukunan beragama.
"Bukan sebaliknya, gaduh memperkeruh
kerukunan beragama antara minoritas dan mayoritas. Konflik horizontal
yang pernah kita alami sangatlah pahit dan memilukan. Itu memerlukan
waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikannya," tegas Dipo.
Sebelumnya,
diberitakan bahwa dalam konferensi pers di Kantor Maarif Institute,
Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan Lintas Agama, Fajar Riza Ul Haq
mengatakan, gerakan tokoh lintas agama sama sekali tidak pernah secara
kolektif bicara polemik Ahmadiyah.
"Tetapi kekerasan terhadap
kelompok minoritas harus disikapi serius oleh negara, karena melindungi
minoritas adalah amanat konstitusi, dan yang menjadi titik tekan gerakan
ini," kata Fajar. (AR)
Empat Sikap Tuntutan Masyarakat Multikultural
http://meurunoteumuleh.blogspot.com/2012/03/empat-sikap-tuntutan-masyarakat.html#more, diunduh tgl 19 Maret 2013, 9:52AM
Bangsa-bangsa di dunia ini memang
diciptakan beraneka ragam. Mereka kadang kala tidak hanya hidup tersebar di
sejumlah tempat tetapi juga kadang hidup di suatu tempat yang tak jarang menimbulkan
masalah tersendiri jika diantara mereka tidak sadar akan adanya multikultural
di luar budaya yang ia anut sendiri.
Untuk bisa hidup dalam sebuah masyarakat
yang multikultural, paling tidak ada empat sikap yang harus dimiliki masyarakat
yang bersangkutan. Empat sikap tuntutan masyarakat multikultural tersebut,
menurut Dr Mulyadhi Kartanegara, antara lain inklusivisme,
humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi. Adakah hal itu terlihat
dalam pemerintahan Islam di masa lalu?
Inklusivisme. Sikap
inklusif ini, menurut Mulyadhi, sebenarnya telah dipraktekkan oleh para adib,
ilmuwan, filosof Muslim, Sufi dan Guru dalam proses belajar mengajar. Para Adib
ketika menyusun “adab” mempraktekkan inklusivisme ini. Karena selain
menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber yang paling otoritatif, mereka
juga masih menggunakan sumber-sumber lain dari kebudayaan lain. Dalam puisi,
misalnya, mereka menggunakan dan menghargai warisan Jahiliyah sebagai tolok
ukur bagi kualitas dan kesuksesan sebuah karya puitis.Demikian juga ketika
mereka mengambil pelajaran moral dari karakter hewan-hewan, mereka tidak ragu
menggunakan karya fable India (missal Kitab Kalilah wa al-Dimnah karya
pujangga India Bidpei). Sedangkan teladan moral dari pahlawan dan raja-raja
mereka ambil dari Persia, sebagaimana tercermin dari karya Firdawsi, Shah namah
(kisah para raja). Demikian juga dengan kata-kata hikmah, mereka himpun dari
berbagai hikmah para pujangga Persia, Arab, Yunani dan India sebagaimana
tercermin dalam karya Miskawayh, al-Hikmah al-Khalidah.
Para ilmuwan Muslim juga telah
mengembangkan sikap inklusif dalam karya-karya mereka. Dalam hal matematika,
para ahli matematika Muslim telah banyak belajar dari matematika India.
Misalnya al-Fazari (atau al-Khwarizmi dalam versi lain) telah menterjemahkan
karya matematika India Siddhanta al-Kubra ke dalam versi bahasa Arab.
Karya ini mendorong ahli-ahli matematika muslim untuk berkarya lebih kreatif
lagi sehingga banyak penemuan-penemuan penting di bidang matematika ini mereka
temukan. Misalnya Al-Khawarizmi sendiri, ia dakui sebagai penemu angka nol atau
sifr atau zero. Tentu ini merupakan sebuah revolusi matematik yang besar,
karena tidak dapat dibayangkan “matematika” tanpa angka nol.
Demikian juga para filosof Muslim
(falasifa) telah dengan jelas memperlihatkan sikap inklusif ini. Mereka telah
menunjukkan sikap lapang dada dan konfiden yang luar biasa terhadap
pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak tampak sedikitpun rasa
minder dalam diri mereka. Menyikapi para pengritiknya yang lebih eksklusif
tentang sumber kebenaran, al-Kindi (w.866) dengan elegan mengatakan: “Kebenaran
dari manapun asalnya harus kita terima, karena tidak ada yang lebih dicintai
oleh pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.
Para sufi muslim pun, di dalam
memilih murid atau guru juga mengembangkan sikap inklusivisme. Misalnya Jalal
al-Din Rumi (w.1273) seorang sufi dan
penyair Persia terbesar memiliki murid Muslim, Yahudi, Kristen dan bahkan
Zoroaster. Mereka diperlakukan secara adil tanpa dipaksa untuk melakukan
konversi agama.Sikap inkluisif dalam memilih guru bisa dilihat dari al-Farabi
(w.950), seorang peripetik Muslim, yang dikenal sebagai guru kedua setelah
Aristoteles. Ketika al-Farabi datang ke Bagdad pada dasawarsa ketiga abad
kesembilan masehi, ia belajar logika dan filsafat dari guru logika yang
terkenal. Yohanna bin Haylan dan Bisyr Matta bin Yunus. Keduanya beragama
Kristen.
Humanisme (Egalitarianisme).
Yang dimaksud dengan humanisme di sini adalah cara pandang yang memperlakukan
manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu,
seperti ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan atau bahkan agama. Dengan
demikian termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai
semua manusia sama derajatnya.
Sejarah Kebudayaan Islam, menurut
Mulyadhi, sarat dengan contoh-contoh sifat humanis ini. Nabi kita sendiri
pernah menyatakan dengan tegas, bahwa “tidak ada kelebihan seorang Arab
daripada non Arab”. Al Hujwiri, seorang penulis mistik Islam, dalam kitabnya Kasyf
al-Mahjub menunjukkan sikap humanis Nabi Muhammad saw. Dikatakan bahwa
ketika seorang kepala suku datang menemuinya, secara spontan Nabi Muhammad
melepas dan menghamparkan jubahnya untuk duduk sang kepala suku, (padahal ia
tahu bahwa ia bukanlah seorang Muslim), seraya berkata kepada
sahabat-sahabatnya: “Hormatilah setiap kepala suku, (apapun agamanya)”. Ini
adalah contoh yang jelas dari pandangan humanis seorang Muhammad, yang
memandang manusia, bukan karena keturunan maupun agamanya, tetapi karena
kemanusiannya.
Toleransi. Toleransi umat
Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini: Para penguasa
Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukkan beberapa wilayah
sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Ketika para penguasa Islam itu
menaklukkan daerah-daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan
pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Namun mereka tidak mengganggu
kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang telah ada sebelum Islam datang.
Beberapa pusat ilmu di kota-kota Siria, seperti Antioch, Harran dan Edessa,
tetap berkembang ketika orang-orang menaklukkan Siria dan Iraq. Di pusat-pusat
ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para sarjana Kristen tetap
berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan berpikir yang
diberikan oleh para penguasa Muslim.
Dari pusat-pusat ilmu inilah
justru umat Islam banyak belajar tentang ilmu-ilmu rasional seperti ilmu
matematika, astronomi, kedokteran dan juga ilmu-ilmu filsafat. Banyak
sarjana-sarjana Muslim yang belajar di pusat-pusat ilmu ini dengan
sarjana-sarjana Kristen. (Kadang murid-murid Muslim ternyata mengungguli
guru-guru Kristen mereka, seperti yang terjadi pada kasus al Farabi dan Ibn Sina). Selain itu, umat
Islam, terutama para penguasanya, bahkan telah menjadikan system pendidikan
mereka sebagai model. Dikatakan bahwa observatory astronomis dan rumah sakit
Baghdad, (dan bahkan menurut yang lain Bayt al Hikmah yang telah mulai
dirintis oleh Harun al-Rasyid dan didirikan oleh putranya al Ma’mun), dibangun
dengan mengikuti model Yundishapur, sebuah pusat ilmu pengetahuan terbesar
Persia.
Selanjutnya, komunitas non Muslim
seperti Kristen, Yahudi dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah
mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa
Muslim. Di sebelah Barat kota Baghdad pada sekitar abad kesepuluh terdapat 8
biara dan 6 gereja Kristen, sedangkan di sebelah timur terdapat 3 biara dan 5
gereja. Demikian juga komunitas Yahudi di Baghdad menikmati sikap toleran
penguasa Muslim. Baghdad pada abad kedua belas terdapat sekitar 40.000 orang
Yahudi, 28 sinagog dan 10 akademi ilmu pengetahuan.
Demikian juga keadaan orang-orang
non Muslim yang hidup di Andalusia, terutama kota Kordoba, saat dikuasai
Penguasa Muslim, mereka menikmati
kebebasan beragama dan dapat hidup tenang dan bebas dalam menjalankan ibadah
dan aktivitas mereka sehari-hari.
Demokrasi. (Kebebasan
Berpikir) Menurut Abdolkarim
Soroush, sebagaimana dikutip Mulyadhi dari buku Soroush berjudul Reason,
Fredom and Democracy in Islam, salah satu sifat yang tidak boleh
ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan
pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berpikir. Nah bagaimana
kebebasan berpikir ini dilaksanakan oleh masyarakat kota-kota besar Islam,
terutama pada masa kejayaannya, dapat dilihat dari contoh-contoh di bawah ini.
Kebebasan untuk menyampaikan
kritik terhadap penguasa, dalam hal ini para perdana menteri (wazir), dapat
dengan gamblang dilihat dalam karya Abu Hayyan al-Tawhidi mengkritik karakter
dan bahkan administrasi dari dua wazir Buyid, Ibn Amid dan Ibnu Sa’dan. Ibn
Amid, misalnya, dikatakan terlalu “pelit” dalam menggaji bawahannya, bahkan
bawahan yang penting seperti Ibn Miskawayh (w.1010), seorang filosof etik yang
terkenal, hanya dibayar dengan gaji yang pas-pasan.
Kadang kritik itu juga ditujukan
oleh sarjana, terhadap orang-orang penting (tidak mesti penguasa) yang punya
pengaruh besar di masyarakat, karena menurut penilaiannya orang-orang itu mempunyai
cacat moral. Demikian juga dalam hal ilmiah kebebasan berpikir juga mendapatkan
peran, sehingga ilmuwan yang satu bebas mengkritik ilmuwan yang lain. Dengan
demikian ilmu pun akan terus berkembang. (lut).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 04 2004
MULTIKULTURALISME, DEMOKRASI, DAN PENDIDIKAN
http://meurunoteumuleh.blogspot.com/2012/03/multikulturalisme-demokrasi-dan.html,
diunduh tgl 19 Maret 2013, 9:55AM
Oleh : Shodiq M.
Hum
Multikulturalisme
Dilihat dari proses terjadinya, proses menjadi
multikultural berbeda dengan akulturasi dan akomodasi. Akulturasi atau disebut
juga asimilasi adalah konsep untuk merujuk
roses di mana seseorang pendatang luar, imigran, aturan kelompok subordinate
menjadi menyatu secara tak kentara lagi ke dalam masyarakat tuan rumah
yang dominan. Sedangkan
akomodasi adalah proses di mana subordinate group menyetujui harapan-harapan
dari kelompok masyarakat dominan. Baik dalam asimilasi maupun akomodasi,
keduanya mendasarkan pada asumsi adanya kelompok masyarakat yang lemah
(subordinate group) dan kelompok masyarakat yang kuat (dominant group). Dalam multikulturalisme, asumsi
tentang subordinate dan dominant
group tidak ada karena setiap kelompok mempunyai kesempatan
yang sama untuk mengekspresikan diri, hidup berdampingan, dan bekerjasama
dengan kelompok lain. Masyarakat multikulturalisme juga mungkin harus dibedakan
dari konsep melting pot culture. Dalam melting pot, konsep
dasarnya ialah adanya suatu kesatuan budaya baru yang terbentuk akibat
pertemuan budaya dan suku yang ada. Melting pot culture perlu dibedakan dari
masyarakat multikultural karena dalam melting pot culture, seolah-olah
diasumsikan bahwa keragaman budaya yang ada tersebut dalam rentang waktu
tertentu akan semakin menghilang. Multikulturalisme, paling kurang pada
awalnya, tidak sama dengan sekadar pluralisme masyarakat. Plural
societies pada awal penggunaannya merujuk pada masyarakat-masyarakat
Negara berkembang pada sebelum dan awal zaman penjajahan dahulu, seperti Burma
dan Indonesia, di mana di dalamnya hidup sejumlah masyarakat yang hidup berdasarkan kesamaan kelompok
kesukuan dan mendiami wilayah tertentu serta memiliki sistem pembagian kerja
sendiri-sendiri yang satu sama lain
tidak saling memerlukan bahkan tidak saling berhubungan sehingga tidak
ada keperluan membangun rasa kebangsaan. Sedangkan dalam masyarakat
multikultural, konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu
hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama, tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan
mengembangkan pluralisme masyarakat itu (multiculturalism celebrate culture variety). Dengan demikian,
ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, yaitu: 1) adanya
pluralisme masyarakat; 2) adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebangsaan yang sama; 3) adanya
kebanggaan mengenai pluralisme itu.
Multikultural dan Demokrasi
Adanya prinsip-prinsip kesamaan kesempatan mengekspresikan diri, hidup
berdampingan, dan bekerjasama
antarberbagai kelompok masyarakat membuat konsep masyarakat
multikultural berdekatan dengan sejumlah konsep yang didengungkan oleh
masyarakat demokrasi dan masyarakat sipil. Konsep-konsep yang berdekatan itu,
atau bahkan menjadi landasan bagi penegakan masyarakat multikultural ialah
demokrasi, hak asasi manusia, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan, kesederhanaan, penghargaan atas keyakinan, kesempatan berprestasi
dan mobilitas sosial, penghindaran tindak kekerasan fisik, dan keyakinan rasa
aman dengan identitas dan eksistensi. Dengan menyebut sejumlah konsep yang
berdekatan itu, kita sudah dapat melihat bagaimana dekatnya konsep
multikulturalisme masyarakat dengan upaya peningkatan kesempatan masyarakat
memperoleh kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita mulia ini
diperlukan niat baik dan upaya serius dari segenap komponen bangsa.
Secara konseptual, multikulturalisme sebenarnya
relatif baru jika dibandingkan dengan konsep pluralis (plurality) maupun
keragaman (diversity). Sekitar
tahun 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia
kemudian di Amerikan Serinkkat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Selain itu,
ketiganya memiliki perbedaan titik tekan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya
“hal-hal yang lebih dari satu”. Keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang
“lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat
disamakan. Sedangkan multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaan itu mereka adalah sama di dalam ruang publik sehingga dibutuhkan
kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
memedulikan perbedaan agama, budaya, etnik, gender, maupun bahasa. Sikap
semacam itu membutuhkan keterbukaan hati semua pihak. Tanpa sikap yang terbuka,
masing-masing kelompok masyarakat akan membangun berlapis-lapis
kecurigaan. Multikulturalisme merupakan
pengikat dan jembatan yang mengakkomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk
perbedan–perbedaan kesukubangsaan dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan-perbedaan
itu terwadahi di tempat-tempat umum,
tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara
politik, hukum, ekkonomi, dan sosial.
Parsudi Suparlan, berpendapat bahwa
landasan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk sudah
saatnya dikaji kembali. Masyarakat multikultural adalah bentuk yang dirasa
mampu menjawab tantangan perubahan zaman. Multikulturalisme, adalah sebuah
ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui
dan mendorong terwudjudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehiduan dan
masyarakat. Di sisi lain, munculnya konsep multikulturalisme juga
sesuai dengan tuntutan era reformasi. Datangnya era reformasi telah membuka jalan bagi rakyak Indonesia untuk
membetuntuk Indonesia Baru. Konsep Indonesia Baru pada hakikatnya adalah sebuah
tatanan masyarakat sipil yang demokratis yang ditandai dengan berjalannya
penegakan hukum untuk supremasi keadilan, terciptanya pemerintahan yang bersih
dari KKN, terwujudnya keteratuarn sosial dan rasa aman dalam masyarakat
yang menjamin kelancaran produktivitas
warga masyarakat serta terwujudnya kehidupan ekonomi yang mensejahterakan
rakyat Indonesia. Sebagai strategi dari
integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati keanekaragaman
budaya. Hal ini membawa implikasi dalam bersikap bahwa realitas sosial yang
sangat majemuk tak akan menjadi kendala dalam membangun pola hubungan sosial
antarindividu yang penuh toleransi. Bahkan, akan tumbuh sikap yang dapat
menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co existence)
satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial
dan politiknya. Perlu ditegaskan bahwa multikulturalisme merupakan suatu konsep
yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik
dan kekerasan, meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan. Oleh karena itu, untuk menerapkan
multikulturalisme agaknya menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal
untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang
dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Bisa diibaratkan, keanekaragaman
budaya ini bagai bintang-bintang di langit yang bertebaran bak mutiara
menghiasi jagat raya. Konsekuensinya, peranan Negara pada konteks ini hanya
memfalitasi peran terciptanya toleransi antaretnis sosial budaya, dan bukan
memainkan peran intervensi-represif yang dapat menimbulkan resistensi dan
radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim Orde Baru. Diharapkan dengan kesadaran dan
kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralisme bangsa baik dalam etnis,
agama, budaya maupun orientasi politik akan bisa mereduksi berbagai potensi
yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.
Menggagas pendidikan
multikultural
Mengikuti konsep psikologi
pendidikan, sesuatu yang paling banyak memengaruhi pribadi seseorang adalah
orang atau lingkungan yang mempunyai makna baginya significant others/affective
others).
Ingat sajak Dorothy Law Nolte:
Jika anak hidup dengan kecaman, ia belajar
untuk menyalahkan
Jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar
untuk berkelahi
Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk
jadi pemalu
Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar
untuk merasa bersalah
Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar
untuk menjadi penyabar
Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar
untuk percaya diri
Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk
menghargai
Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar
untuk bersikap adil
Jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar
untuk memiliki keadilan
Jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk
menyukai diri sendiri
Jika anak hidup dengan penerimaan dan
persahabatan, ia belajar menemukan
cinta di dunia
Pendidikan multikultural, perlu menegaskan paradigma interkoneksitas:
Learning to think
Lerning to do
Learning to be
Learning to live together
Visi pendidikan yang dibangun bukanlah
ideologisasi, tetapi humanisasi-spiritualisasi.
- Paradigma pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk membangun cara pandang cara hidup. Oleh karena itu, paradigma multikulturalisme sebetulnya ingin menawarkan bahwa cara pandang kita sebagai umat dalam kehidupan berbangsa tidak lagi logosentris, terpusat, tetapi desenter.
- Dalam kehidupan umat sendiri ada beban baik beban teologis maupun
Comments
Post a Comment