ETIKA PROFESI PUSTAKAWAN
Apa
itu etika ? Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini berasal dari
bahasa Yunani yakni ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika membahas
tentang tingkah laku manusia. Ada orang berpendapat bahwa etika dan
akhlak adalah sama. Ada juga istilah nilai.Membahas
nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana yang baik
dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat
baik serta tujuan yang memiliki nilai. Pembahasan mengenai nilai ini
sangat berkaitan dangan pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai dalam
filsafat moral sangat bermuatan normatif dan metafisika.
Profesi bukan sekedar pekerjaan, akan tetapi suatu pekerjaan yang juga memerlukan keahlian, tanggungjawab, dan kesejawatan. Pustakawan sebagai sebuah bentuk profesi telah ada dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi sejak masa Mesir kuno. Profesi pustakawan pada masa itu diakui karena memiliki kompetensi, pengalaman, serta keahlian dalam berbagai bahasa. Pustakawan menjadi salah satu profesi dengan kedudukan yang cukup penting dan diperhitungkan dalam pemerintahan.
Di Indonesia, profesi pustakawan secara resmi diakui berdasarkan SK MENPAN No.18/MENPAN/1988 dan diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/MENPAN/1990. Pustakawan merupakan individu yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya, berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi, informasi yang dimiliki melalui jenjang pendidikan formal. Dalam perkembangannya, keberadaan profesi pustakawan di Indonesia diperkuat oleh lahirnya keputusan-keputusan dan aturan professional tertulis yang berkaitan dengan kewajiban dan hak sebagai profesi dan fungsional pustakawan.
Salah satu syarat sebuah pekerjaan dapat dikatakan sebagai sebuah profesi apabila telah memiliki kode etik. Kode etik merupakan sebuah sistem norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan baik bagi profesional. Kode etik pustakawan di Indonesia dibuat oleh lembaga Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Kode etik atau Etika Profesi IPI diatur dalam AD dan ART IPI. Kode Etik Pustakawan Indonesia (KEPI) secara garis besar, dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu pembukaan, kewajiban-kewajiban pustakawan yang mencakup kewajiban umum, kewajiban kepada organisasi dan profesi, kewajiban sesama pustakawan, kewajiban pada diri sendiri., serta bagian yang mencakup sanksi terhadap pelanggaran kode etik.
Kewajiban-kewajiban pustakawan yang tercantum dalam kode etik tersebut, antara lain:
Praktik Kode Etik Pustakawan dalam Perspektif Umum
Pustakawan sebagai sebuah profesi, telah memiliki kode etik sebagai sebuah bentuk aturan norma dan nilai yang menjaga pustakawan agar tetap bekerja dan berjalan dalam koridor profesionalisme. Idealnya, pustakawan harus menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah profesi dengan memberikan layanan dan rasa puas kepada masyarakat, terutama pemustaka. Akan tetapi dalam praktiknya profesi pustakawan masih dipandang sebelah mata oleh hampir sebagian besar masyarakat dan bahkan pustakawan itu sendiri.
Tak jarang pustakawan terkesan masih jauh dari apa yang dituntut dan diharapkan, seperti yang tercantum dalam AD dan ART maupun kode etik IPI. Bahkan ada oknum-oknum pustakawan yang terang-terangan melanggar AD-ART dan kode etik. Hal tersebut akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi pemustaka, sehingga pemustaka enggan untuk datang kembali ke perpustakaan dan memanfaatkan produk serta jasa yang telah disediakan oleh perpustakaan.
Pelanggaran kode etik sering terjadi dan dilakukan oleh pustakawan, baik secara disengaja maupun tidak. Ketidaksesuaian kinerja pustakawan dengan apa yang telah digariskan oleh IPI dikarenakan oleh berbagai faktor, baik itu yang berasal dari internal pustakawan (kemauan, kemampuan, maupun kepribadian dan perilaku) maupun yang berasal dari faktor eksternal (institusi, kebijakan, pengahargaan, serta rewerd).
Untuk menjadi seorang tenaga pustakawan yang profesional, diwajibkan untuk mengantongi tiga komponen utama yakni, kemampuan, kemauan serta kepribadian dan perilaku. Jika merujuk pada pengertian tenaga pustakawan professional dalam AD dan ART IPI, maka individu baru dikatakan sebagai pustakawan apabila telah melalui jalur pendidikan formal tentang informasi, dokumentasi, dan perpustakaan atau yang disetarakan. Akan tetapi dalam praktiknya, tak jarang kita menemui pustakawan karbitan.
Pustakawan karbitan sering mejadi kendala dalam pengembangan sikap profesionalisme pustakawan. Dengan hanya menempuh satu atau dua bulan pelatihan yang berhubungan dengan perpustakaan, pustakawan karbitan terkadang merasa telah memiliki kemampuan menyamai pustakawan dengan latar pendidikan ilmu perpustakaan. Padahal, pustakawan karbitan ini hanya mengetahui sedikit tentang catalog, klasifikasi, dan layanan.
Dengan latar pendidikan di bidang informasi, dokumentasi dan perpustakaan, pustakawan diharapkan memiliki modal dasar yang cukup kuat untuk mengembangkan profesi mereka. Selain itu, keterbatasan kemampuan untuk mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia kerja menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan profesi pustakawan.
Pustakawan dituntut mampu mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pemustaka. Akan tetapi dalam praktiknya, untuk menyelakan pc computer pun banyak dari pustakawan yang tidak bisa, terutama pustakawan-pustakawan yang sudah senior.
Pustakawan pun diharapkan memiliki kemampuan berbahasa diluar bahasa ibu, bahasa Inggris misalnya. Globalisasi, termasuk dibidang informasi menyebabkan perkembangan dan kebutuhan informasi yang tidak terbatas. Perpustakaan tak jarang memiliki koleksi dalam bahasa asing dan juga pemustaka dari Negara lain. Oleh karena itu, diharapkan pustakawan memiliki kemampuan berbahasa yang baik sebagai penghubung.
Selain kemampuan, pustakawan harus memiliki kemauan. Kemauan untuk mengembangkan diri demi kemajuan profesi serta kemauan untuk mengembangkan pekerjaan dan organisasi. Gairah untuk mengembangkan diri sangat kurang dirasakan dari seorang pustakawan. Pustakawan sering merasa puas dan nyaman atas apa yang telah diperoleh, sehingga pemustaka terkadang merasakan bahwa pustakawan bekerja setengah hati.
Hal terpenting lainnya yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan professional adalah sikap dan perilaku yang mendukung pekerjaan yang dijaga oleh kode etik pustakawan. Sikap dan perilaku pustakawan ini yang sering menjadi jurang antara pustakawan dan pemustaka. Pustakawan sering merasakan bahwa pemustaka tidak bersahabat, jutek, tidak mau tahu, dan terkadang acuh terhadap pemustaka. Rogansi pun tak jarang ditunjukkan oleh pustakawan. Pustakawan bersikap sebagai superior yang menguasasi dengan baik semua koleksi yang ada. Sikap ini sering menjadikan pemustaka merasa rendah diri, malu, dan terintimidasi.
Dalam kode etik pustakawan, telah diatur bagaimana seharusnya pustakawan bersikap, baik terhadap koleksi, pemustaka, rekan sejawat, maupun masyarakat. Akan tetapi dalam kenyataannya sikap yang ditunjukkan oleh pustakawan sering berlawanan. Sikap pustakawan yang cenderung kurang professional ini disebabkan oleh berbagai faktor. Kurangnya kemampuan sering menjadikan pustakawan minder sehingga bersikap acuh terhadap pemustaka. Pustakawan berusaha menjaga jarak agar ketidakmampuannya tidak diketahui oleh pemustaka.
Disamping kemampuan, kemauan, dan perilaku pustakawan yang terkadang melanggar rambu-rambu, faktor eksternal pun tak jarang semakin memperparah penilaian terhadap profesi pustakawan sebagai profesi kelas dua. Kebijakan yang kurang mendukung, kurangnya apresiasi dan penghargaan, minimnya reward yang diberikan serta tidak adanya punishment serta sistem evaluasi yang berkala dan berkesinambungan menjadi faktor penghambat lainnya.
Menurut teori kebutuhan Maslow (Hierarcy Needs Theory), manusia baru bisa dan mampu mengaktualisasikan dirinya apabila telah terpenuhinya kebutuhan dasar dan kesejahteraan, pengakuan, dan penghargaan. Banyak dari pustakawan (terutama pegawai negeri) yang hidupnya sangat pas-passan, sehingga jangankan untuk meningkatkan kualitas kerja, untuk peningkatan kualitas hidup pun mereka harus berjuang sangat keras. Pekerjaan tidak menjadi prioritas untuk pustakawan ini.
Masyarakat yang memposisikan pustakawan sebagai profesi kelas dua menandakan bahwa kurangnya pengakuan terhadap profesi ini. Masyarakat sering memandang sebelah mata terhadap pustakawan. Pustakawan dianggap sebagai penjaga deretan buku-buku di rak perpustakaan. Pustakawan jarang dipandang dari sisi humanis.
Pustakawan pun perlu diberi reward apabila dalam pekerjaan mengalami peningkatan dan memperoleh sangsi apabila mengalami degradasi kinerja. Evaluasi terhadap kinerja pustakawan perlu dilakukan secara rutin dan berkesinambungan, sehingga pustakawan mengetahui apa yang sebaiknya ditingkatkan dan apa yang harusnya tidak lagi dilakukan dalam pekerjaan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Achmad. 2001. Prefesionalisme Pustakawan di Era Global. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Pusta XI IPI. Jakarta: 5 November 2001.
Herzberg, Frederich. 1982. The Managerial Choice : of be efficient and to be Human.Homewood. Illinois : Dow – Jones Irwin.
Maslow, Abraham. 1970. Motivation and Personality. New York : Harper and Row Publisher.
Rusmana, Agus. 2008. Strategi Menuju Pustakawan Profesional. www.scribd.com. Diakses 17 Maret 2012
Pembahasan tentang Etika Profesi Pustakawanyang dibahas pada modul 7 BMP Profesi Pustakawan akan membahas tentangperilaku manusia sesuai dengan norma-norma adat atau kaidah-kaidah atau nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam etika terdapat pengetahuan tentang moral atau kesusilaan, yakni pengetahuan baik dan buruk yang dikalukan
oleh manusia. Sedangkan etika khusus, adalah etika yang berlaku pada
masing-masing profesi, misalnya Etika Kepustakawanan.
Setelah mempelajari modul 7 ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan :
- Arti etika dan etiket
- Etos profesi dalam bidang keahliannya
- Pengertian hubungan antara pribadi dalam kehidupan sosial
- Prinsip-prinsip etika profesi,
- Arti profesi, professional dan profesionalisme
- Kode Etik Pustakawan Indonesia
Secara kebahasaan perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak, kesusilaan, atau adat.
Secara etimologis, etika adalah ilmu tentang adat kebiasaan yang
berkenaan dengan hidup yang baik dan yang buruk (E.Y Kanter, 2001 : 2).
Dalam kehidupan sehari-hari, etika lazim disebut : susila atau
kesusilaan. Kesusilaan mengandung arti kelakuan yang baik berwujud
kaidah, norma (peraturan hidup bermasyarakat).
Ensiklopedia Indonesia (Ikhtisar Baru, 1984) mengartikan etika (ethics) adalah ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam bermasyarakat.
Ensiklopedia Indonesia (Ikhtisar Baru, 1984) mengartikan etika (ethics) adalah ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam bermasyarakat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia
yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 - mengutip dari Bertens,2000),
etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 - mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
- ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
- kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
- nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika
merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang
baik, berbuat baik dan menginginkan hal baik dalam hidup. Etika,
sebagaimana metoda filsafat, mengandung permusyawaratan dan argumen
eksplisit untuk membenarkan tindakan tertentu (etika praktis). Juga
membahas asas-asas yang mengatur karakter manusia ideal atau kode etik
profesi tertentu (etika normatif). Etika penting karena masyarakat
selalu berubah, sehingga kita harus dapat memilih dan menyadari
kemajemukan (norma) yang ada (filsafat praksiologik). Jadi etika juga
adalah alasan untuk memilih nilai yang benar ditengah belantara norma
(filsafat moral).
Menurut Ahmad Amin, “etika
adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan
tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh
manusia." Dengan demikian etika akan memberikan semacam
batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia didalam
kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan
dengan seni pergaulan manusia, etika adalah aturan (code) tertulis yang
secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang
ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat
untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum
(common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika
adalah refleksi dari apa yang disebutdengan “self control”,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Sementara
itu etika profesi menurut Keiser dalam (Sahrawardi Lubis, 1994: 6-7),
adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan
profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian
sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban
terhadap masyarakat.
Sedang
Magnis Suseno (1991: 70) membedakan profesi sebagai profesi pada
umumnya dan profesi luhur. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan
sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang
mengandalkan suatu keahlian khusus. Pengertian profesi tersebut adalah
pengertian profesi pada umumnya, sebab disamping itu terdapat pula yang
disebut sebagai profesi luhur, yaitu profesi yang pada hakikatnya
merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat.Sebuah
profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat bilamana
dalam diri para elit profersional tersebut ada kesadaran kuat untuk
mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan
jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika
profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat
akan segera jatuh tergradasi menjadi sebuahpekerjaan
pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan
nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan
tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada
para elite professional ini.
Prinsip-prinsip
umum yang dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda satu dengan yang
lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan adat, kebiasaan, kebudayaan, dan
peranan tenaga ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negar tidak
sama. Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang
dituangkan dalam kode etik (Code of conduct) profesi adalah:
1)Standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya
2)Standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan
3)Standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu
4)Standar-standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moral-moral dari komunitas, dengan demikian standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya
5)Standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi
6)Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau undang-undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya
Kode etik pustakawan Indonesia merupakan :
- Aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Pustakawan dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pustakawan;
- Etika profesi pustakawan yang menjadi landasan moral yang dijunjung tinggi, diamalkan, dan diamankan oleh setiap pustakawan;
- Ketentuan yang mengatur pustakawan dalam melaksanakan tugas kepada diri sendiri, sesama pustakawan, pengguna, masyarakat dan negara.
Kode etik profesi pustakawan rnempunyai tujuan :
- membina dan membentuk karakter pustakawan;
- mengawasi tingkah laku pustakawan dan sarana kontrol sosial;
- mencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat;
- menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada perpustakaan dan mengangkat citra pustakawan.
Sikap dasar Pustakawan
Sikap Pustakawan
Indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomani yaitu
berupaya melaksanakan tugas sesuai dengan harapan masyarakat pada
umumnya dan kebutuhan pengguna perpustakaan pada khususnya;
- berupaya mempertahankan keunggulan kompetensisetinggi mungkin dan berkewajiban mengikuti perkembangan;
- berupaya membedakan antara pandangan atau sikap hidup pribadi dan tugas profesi;
- menjamin bahwa tindakan dan keputusannya, berdasarkan pertimbangan profesional;
- tidak menyalah gunakan posisinya dengan mengambil keuntungan kecuali atas jasa profesi;
- bersifat sopan dan bijaksana dalam melayani masyarakat, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Hubungan dengan pengguna
- Pustakawan menjunjung tinggi hak perorangan atas informasi. Pustakawan menyediakan akses tak terbatas, adil tanpa memandang ras, agama, status sosial, ekonomi, politik, gender, kecuali ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
- Pustakawan tidak bertanggung jawab atas konsekwensi penggunaan informasi yang diperoleh dari perpustakaan;
- Pustakawan berkewajiban melindungi hak privasi pengguna dan kerahasiaan menyangkut informasi yang dicari;
- Pustakawan mengakui dan menghormati hak milik intelektual;
Hubungan antar Pustakawan
- Pustakawan berusaha mencapai keunggulan dalam profesinya dengan cara memelihara dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan;
- Pustakawan bekerjasama dengan pustakawan lain dalam upaya mengembangkan kompetensi profesional pustakawan, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok;
- Pustakawan memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesama rekan;
- Pustakawan memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap Korps Pustakawan secara wajar;
- Pustakawan menjaga nama baik dan martabat rekan, baik didalam maupun diluar kedinasan.
Hubungan dengan Perpustakaan
- Pustakawan ikut aktif dalam perumusan kebijakan menyangkut kegiatan jasa kepustakawanan;
- Pustakawan bertanggungjawab terhadap pengembangan perpustakaan;
- Pustakawan berupaya membantu dan mengembangkan pemahaman serta kerjasama semua jenis perpustakaan.
Hubungan Pustakawan dengan Organisasi Profesi
- Membayar iuran keanggotaan secara disiplin;
- Mengikuti kegiatan organisasi sesuai kemampuan dengan penuh tanggungjawab;
- Mengutamakan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi.
Hubungan Pustakawan dengan Masyarakat
Pustakawan
bekerja sama dengan anggota komunitas dan organisasi yang sesuai
berupaya meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan serta komunitas
yang dilayaninya;
- Pustakawan berupaya memberikan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan di masyarakat.
Kode Etik Pustakawan dan Praktiknya dalam Perspektif Umum
Kode Etik Pustakawan dan Praktiknya
dalam Perspektif Umum
PengantarProfesi bukan sekedar pekerjaan, akan tetapi suatu pekerjaan yang juga memerlukan keahlian, tanggungjawab, dan kesejawatan. Pustakawan sebagai sebuah bentuk profesi telah ada dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi sejak masa Mesir kuno. Profesi pustakawan pada masa itu diakui karena memiliki kompetensi, pengalaman, serta keahlian dalam berbagai bahasa. Pustakawan menjadi salah satu profesi dengan kedudukan yang cukup penting dan diperhitungkan dalam pemerintahan.
Di Indonesia, profesi pustakawan secara resmi diakui berdasarkan SK MENPAN No.18/MENPAN/1988 dan diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/MENPAN/1990. Pustakawan merupakan individu yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya, berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi, informasi yang dimiliki melalui jenjang pendidikan formal. Dalam perkembangannya, keberadaan profesi pustakawan di Indonesia diperkuat oleh lahirnya keputusan-keputusan dan aturan professional tertulis yang berkaitan dengan kewajiban dan hak sebagai profesi dan fungsional pustakawan.
Salah satu syarat sebuah pekerjaan dapat dikatakan sebagai sebuah profesi apabila telah memiliki kode etik. Kode etik merupakan sebuah sistem norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan baik bagi profesional. Kode etik pustakawan di Indonesia dibuat oleh lembaga Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Kode etik atau Etika Profesi IPI diatur dalam AD dan ART IPI. Kode Etik Pustakawan Indonesia (KEPI) secara garis besar, dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu pembukaan, kewajiban-kewajiban pustakawan yang mencakup kewajiban umum, kewajiban kepada organisasi dan profesi, kewajiban sesama pustakawan, kewajiban pada diri sendiri., serta bagian yang mencakup sanksi terhadap pelanggaran kode etik.
Kewajiban-kewajiban pustakawan yang tercantum dalam kode etik tersebut, antara lain:
- Pustakawan menjaga martabat dan moral serta mengutamakan pengabdian dan tanggungjawab kepada instansi tenpat bekerja, bangsa dan Negara
- Pustakawan melaksanakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada setiap pengguna secara cepat, tepat, dan akurat sesuai dengan prosedur pelayanan perpustakaan, santun, dan tulus.
- Pustakawan melindungi kerahasian dan privasi menyangkut informasi yang ditemui, dicari dan bahan pustaka yang diperiksa dan dipinjam pengguna perpustakaan
- Pustakawan ikut ambil bagian dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat dan lingkungan tempat bekerja terutama yang berkaitan dengan pendidikan, usaha sosial dan kebudayaan
- Pustakawan berusaha menciptakan citra perpustakaan yang baik di mata masyarakat
- Pustakawan melaksanakan AD dan ART IPI dank ode etik IPI
- Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan pustaka dan informasi
- Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi
- Pustakawan memperlakukan rekan sekerja berdasarkan prinsip saling menghormati dan bersikap adil kepada rekan sejawat serta berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka
- Pustakawan menghindarkan diri dari menyalahgunakan fasilitas perpustakaan untuk kepentingan pribadi, rekan sekerja dan penggunaan tertentu
- Pustakawan dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan professional kepustakawanan
- Pustakawan berusaha meningkatkan dan memperluas pengetahuan, kemampuan diri dan profesinalisme
Praktik Kode Etik Pustakawan dalam Perspektif Umum
Pustakawan sebagai sebuah profesi, telah memiliki kode etik sebagai sebuah bentuk aturan norma dan nilai yang menjaga pustakawan agar tetap bekerja dan berjalan dalam koridor profesionalisme. Idealnya, pustakawan harus menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah profesi dengan memberikan layanan dan rasa puas kepada masyarakat, terutama pemustaka. Akan tetapi dalam praktiknya profesi pustakawan masih dipandang sebelah mata oleh hampir sebagian besar masyarakat dan bahkan pustakawan itu sendiri.
Tak jarang pustakawan terkesan masih jauh dari apa yang dituntut dan diharapkan, seperti yang tercantum dalam AD dan ART maupun kode etik IPI. Bahkan ada oknum-oknum pustakawan yang terang-terangan melanggar AD-ART dan kode etik. Hal tersebut akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi pemustaka, sehingga pemustaka enggan untuk datang kembali ke perpustakaan dan memanfaatkan produk serta jasa yang telah disediakan oleh perpustakaan.
Pelanggaran kode etik sering terjadi dan dilakukan oleh pustakawan, baik secara disengaja maupun tidak. Ketidaksesuaian kinerja pustakawan dengan apa yang telah digariskan oleh IPI dikarenakan oleh berbagai faktor, baik itu yang berasal dari internal pustakawan (kemauan, kemampuan, maupun kepribadian dan perilaku) maupun yang berasal dari faktor eksternal (institusi, kebijakan, pengahargaan, serta rewerd).
Untuk menjadi seorang tenaga pustakawan yang profesional, diwajibkan untuk mengantongi tiga komponen utama yakni, kemampuan, kemauan serta kepribadian dan perilaku. Jika merujuk pada pengertian tenaga pustakawan professional dalam AD dan ART IPI, maka individu baru dikatakan sebagai pustakawan apabila telah melalui jalur pendidikan formal tentang informasi, dokumentasi, dan perpustakaan atau yang disetarakan. Akan tetapi dalam praktiknya, tak jarang kita menemui pustakawan karbitan.
Pustakawan karbitan sering mejadi kendala dalam pengembangan sikap profesionalisme pustakawan. Dengan hanya menempuh satu atau dua bulan pelatihan yang berhubungan dengan perpustakaan, pustakawan karbitan terkadang merasa telah memiliki kemampuan menyamai pustakawan dengan latar pendidikan ilmu perpustakaan. Padahal, pustakawan karbitan ini hanya mengetahui sedikit tentang catalog, klasifikasi, dan layanan.
Dengan latar pendidikan di bidang informasi, dokumentasi dan perpustakaan, pustakawan diharapkan memiliki modal dasar yang cukup kuat untuk mengembangkan profesi mereka. Selain itu, keterbatasan kemampuan untuk mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia kerja menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan profesi pustakawan.
Pustakawan dituntut mampu mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pemustaka. Akan tetapi dalam praktiknya, untuk menyelakan pc computer pun banyak dari pustakawan yang tidak bisa, terutama pustakawan-pustakawan yang sudah senior.
Pustakawan pun diharapkan memiliki kemampuan berbahasa diluar bahasa ibu, bahasa Inggris misalnya. Globalisasi, termasuk dibidang informasi menyebabkan perkembangan dan kebutuhan informasi yang tidak terbatas. Perpustakaan tak jarang memiliki koleksi dalam bahasa asing dan juga pemustaka dari Negara lain. Oleh karena itu, diharapkan pustakawan memiliki kemampuan berbahasa yang baik sebagai penghubung.
Selain kemampuan, pustakawan harus memiliki kemauan. Kemauan untuk mengembangkan diri demi kemajuan profesi serta kemauan untuk mengembangkan pekerjaan dan organisasi. Gairah untuk mengembangkan diri sangat kurang dirasakan dari seorang pustakawan. Pustakawan sering merasa puas dan nyaman atas apa yang telah diperoleh, sehingga pemustaka terkadang merasakan bahwa pustakawan bekerja setengah hati.
Hal terpenting lainnya yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan professional adalah sikap dan perilaku yang mendukung pekerjaan yang dijaga oleh kode etik pustakawan. Sikap dan perilaku pustakawan ini yang sering menjadi jurang antara pustakawan dan pemustaka. Pustakawan sering merasakan bahwa pemustaka tidak bersahabat, jutek, tidak mau tahu, dan terkadang acuh terhadap pemustaka. Rogansi pun tak jarang ditunjukkan oleh pustakawan. Pustakawan bersikap sebagai superior yang menguasasi dengan baik semua koleksi yang ada. Sikap ini sering menjadikan pemustaka merasa rendah diri, malu, dan terintimidasi.
Dalam kode etik pustakawan, telah diatur bagaimana seharusnya pustakawan bersikap, baik terhadap koleksi, pemustaka, rekan sejawat, maupun masyarakat. Akan tetapi dalam kenyataannya sikap yang ditunjukkan oleh pustakawan sering berlawanan. Sikap pustakawan yang cenderung kurang professional ini disebabkan oleh berbagai faktor. Kurangnya kemampuan sering menjadikan pustakawan minder sehingga bersikap acuh terhadap pemustaka. Pustakawan berusaha menjaga jarak agar ketidakmampuannya tidak diketahui oleh pemustaka.
Disamping kemampuan, kemauan, dan perilaku pustakawan yang terkadang melanggar rambu-rambu, faktor eksternal pun tak jarang semakin memperparah penilaian terhadap profesi pustakawan sebagai profesi kelas dua. Kebijakan yang kurang mendukung, kurangnya apresiasi dan penghargaan, minimnya reward yang diberikan serta tidak adanya punishment serta sistem evaluasi yang berkala dan berkesinambungan menjadi faktor penghambat lainnya.
Menurut teori kebutuhan Maslow (Hierarcy Needs Theory), manusia baru bisa dan mampu mengaktualisasikan dirinya apabila telah terpenuhinya kebutuhan dasar dan kesejahteraan, pengakuan, dan penghargaan. Banyak dari pustakawan (terutama pegawai negeri) yang hidupnya sangat pas-passan, sehingga jangankan untuk meningkatkan kualitas kerja, untuk peningkatan kualitas hidup pun mereka harus berjuang sangat keras. Pekerjaan tidak menjadi prioritas untuk pustakawan ini.
Masyarakat yang memposisikan pustakawan sebagai profesi kelas dua menandakan bahwa kurangnya pengakuan terhadap profesi ini. Masyarakat sering memandang sebelah mata terhadap pustakawan. Pustakawan dianggap sebagai penjaga deretan buku-buku di rak perpustakaan. Pustakawan jarang dipandang dari sisi humanis.
Pustakawan pun perlu diberi reward apabila dalam pekerjaan mengalami peningkatan dan memperoleh sangsi apabila mengalami degradasi kinerja. Evaluasi terhadap kinerja pustakawan perlu dilakukan secara rutin dan berkesinambungan, sehingga pustakawan mengetahui apa yang sebaiknya ditingkatkan dan apa yang harusnya tidak lagi dilakukan dalam pekerjaan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Achmad. 2001. Prefesionalisme Pustakawan di Era Global. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Pusta XI IPI. Jakarta: 5 November 2001.
Herzberg, Frederich. 1982. The Managerial Choice : of be efficient and to be Human.Homewood. Illinois : Dow – Jones Irwin.
Maslow, Abraham. 1970. Motivation and Personality. New York : Harper and Row Publisher.
Rusmana, Agus. 2008. Strategi Menuju Pustakawan Profesional. www.scribd.com. Diakses 17 Maret 2012
Comments
Post a Comment