War Nam Nihadan: Ucapan dan Tindakan Tanpa Pikiran
When you have not probed into a problem, into the present facts and its past history, and know nothing of its essentials, whatever you say about it will undoubtedly be nonsense.— Mao Tse-tung, “On Practice and Contradiction” (hal. 43)
Belakangan aku menyadari artikel-artikel berbau politik
dan opini masyarakat yang membabi buta mulai tersebar secara sporadis
menjelang pemilihan presiden tahun ini. Beberapa kulihat mengemukakan
fakta dan analisis kompeten yang merujuk pada
metode investigatif menyangkut kebenaran apa dan siapa sebenarnya para
calon-calon yang maju ke kursi kepemimpinan, yang tentu, lebih baik kita
akui saja, masih tidak sepenuhnya terlepas dari selentingan
kepentingan-kepentingan tertentu—bahkan tulisan ini pun juga tidak terlepas dari kepentinganku sendiri (salah satu hal yang kupelajari dari Foucault: tidak ada hal yang netral)—beberapa
lainnya adalah murni kicauan subyektif asal dan sama sekali tak ada
juntrungannya. Sejujurnya, aku bukan tipe orang yang mudah terlibat
dalam silat adu opini. Terlebih dalam dunia internet, dunia yang bagiku
tidak lebih dari hanya sekedar kubangan peluh tempat bersinggahnya para
pendusta, kerbau-kerbau albino yang diri-sentris. Beradu opini dengan
orang-orang seperti itu, adalah sama halnya berbicara dengan tembok
konkret. Engkau otomatis ada dalam pihak yang dianggap gila.
Kulit mereka terlalu tebal untuk dipenetrasi dengan rasio dan persuasi;
terlalu tebal untuk ditembus hanya dengan gelombang suara. Ini adalah
contoh nyata ekses dari kebijakan demokrasi-liberal, yaitu kebebasan
berpendapat: hak semua orang untuk berbicara dan berpendapat, juga
artinya adalah hak semua orang untuk berbicara omong kosong dan menebar
kebohongan.
Aku disini lebih bersimpatik dengan Mao ketika ia berkata dalam teks influensial nya “On Practice”
bahwa adalah sebuah tindakan yang dibenarkan untuk mencabut hak
berbicara mereka orang-orang yang hanya gemar berbicara omong kosong
(mengingat kondisi masyarakat yang kian lama kian semakin permisif
seperti ini, menjadi didaktis adalah kualitas tersendiri). Ini bukan
lagi persoalan mengenai hak asasi, tetapi mengenai moral. Kebebasan
tanpa moral dan tanggung jawab itu tiada artinya. Bukankah Baudelaire
sendiri pernah berkata bahwa kebebasan itu hanya pantas dimiliki oleh orang-orang yang mampu
mengendalikannya? Mereka yang tidak mempunyai landasan moral dan
tanggung jawab, tidak berhak untuk bebas. Sekali lagi aku tekankan
disini, tidak berhak. Semua bentuk kehidupan manusia mempunyai
larangan dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri. Ini yang dinamakan
norma. Mereka yang kerap berpikir bahwa norma selalu bersifat
restriktif, adalah seorang romantisis yang delusional. Norma sosial
memang adanya berbeda-beda dalam tiap kultur, tetapi secara garis besar
nilai-nilai yang dipegang tetaplah sama: adalah normatif untuk tidak
sekonyong-konyongnya menghadang orang asing yang engkau temui di jalan
dan lalu memerkosa, mengamputasi kaki atau tangannya; adalah
konvensional, untuk menghukum para pelaku pembunuh berantai atau pelaku
tindak abusif yang ditujukan terhadap perempuan dan anak-anak. Jika
engkau masih merasa bahwa norma semacam itu opresif, maka ada sesuatu
yang benar-benar salah dengan dirimu. Engkau terlampau sensitif.
Bahkan masyarakat tribal mekanis (ala Durkheim)
sekalipun—yakni anggota dari suku-suku paling terpencil di pelosok
dunia—mempunyai nilai-nilainya sendiri yang ditanam sejak ratusan hingga
ribuan tahun lamanya, sebuah landasan dan batasan untuk menjalani hidup
sebagai komune, yang dapat menjaga keseimbangan relasi solidaritas
antar sesamanya dan alam disekitarnya (menjadi suatu norma). Esensinya,
mereka (masyarakat tribal) adalah masyarakat yang bekerja
berdasarkan asas egaliter: berbagi alat perkakas dan sumber pangan
adalah merupakan bagian dari kode etik mereka, dan segala percobaan
untuk memonopoli sumber daya, mengakumulasi kekayaan pribadi, atau
mementingkan diri sendiri diatas kepentingan anggota adalah suatu
pelanggaran yang bersifat normatif. Betapa ironis, mereka yang
terstigmatisasi sebagai orang-orang liar yang tak beradab, yang
termarjinalkan (karena menurut logika Aristotelian: manusia secara
alamiah adalah penduduk kota, atau polis dalam bahasa Yunani;
mereka yang memilih untuk tidak menjadi bagian dari penduduk kota,
secara definisi, tidak patut dihargai), yang justru sewaktu-waktu lebih
beradab dan lebih mempunyai norma ketimbang kita yang hidup jauh di
dataran rendah, hidup dinaungi kemegahan kota dan yang mengaku sebagai
manusia beradab.
Only an intellectual who has overdosed on abstraction could be dim enough to imagine that whatever bends a norm is politically radical.— Terry Eagleton, “After Theory” (hal. 15)
Bagaimana cara engkau berbicara, apa makna dan pesan yang
terkandung dari tiap perkataan yang keluar dari mulutmu adalah cerminan
moral dirimu sendiri: bahasa adalah cermin dua arah yang merefleksikan
realitas konkret (dunia disekitarmu dan dirimu sendiri). Jika engkau
gemar berbicara asal, maka bisa dipastikan moralmu juga sama asalnya,
barbar yang sesungguhnya; jika engkau berbicara tanpa mempertimbangkan
norma, maka bisa dipastikan engkau adalah seorang bigot.
Tentu disini aku juga dengan tegas dan sadar mengabaikan
dimensi metafisik dari sebuah Bahasa (berbicara mengenai sesuatu yang
eksis sebelum atau independen dari apa yang konkret, kupercaya pada
akhirnya, adalah juga omong kosong), dan membawanya ke ranah material
(berdasarkan variabel yang dapat diverifikasi secara empiris), seperti
apa yang seharusnya disipel diamat seperti diriku lakukan.
Keinginan orang-orang untuk terus berpendapat, beropini,
untuk terus aktif berpartisipasi dalam politik ‘partisipatoris’ semacam
ini, menurutku amat menyerupai strategi tipikal dari pengidap penyakit
psikologis akut: neurotik obsesional. Bukankah ini apa yang selalu Lacan
maksud dengan ‘aktifitas palsu’ (false activity): seseorang tak
lagi hanya bertindak semata-mata untuk merubah sesuatu, tetapi ia juga
bertindak agar sekaligus menghalau sesuatu untuk terjadi, agar tidak ada yang berubah.
Disinilah letak permasalahan, paradoks dari apa yang kumaksud dengan
strategi neurotik obsesional tadi: ia bertindak justru agar kenyataan
yang sebenarnya tidak terungkap. Lacan biasa menyebutnya sebagai ‘subyek
interpasif‘: aku pasif melalui the Other (aku bisa tetap aktif, saat the Other
secara pasif menikmati aspek-aspek dalam kehidupanku). Kasus sederhana:
dalam sebuah diskusi atau pertemuan kelompok, dimana ada tensi yang
menunggu dibawah permukaan untuk lalu meledak (atau dalam istilah bahasa
Inggris biasa disebut dengan “the elephant in the room”),
seorang yang obsesional akan senantiasa berbicara terus menerus,
‘mencairkan suasana’ untuk menghalau momen kesunyian yang canggung, yang
dapat mendorong semua orang untuk segera mengkonfrontasi tensi dan
masalah yang menunggu di bawah permukaan tersebut. Ia tidak bisa hanya
tinggal diam, membiarkan kesunyian itu terjadi, menunggu agar ‘gajah’
itu menampakkan bentuknya dan merusak atmosfer yang (menurutnya) sudah
‘kondusif’ (aku mentrivialisasi makna kondusif disini, kondusifitas itu
sifatnya relatif). Ia akan terus berbicara omong kosong, bertindak,
membuat dirinya terus aktif, untuk meng-imobilisasi lawannya.
Singkatnya, mereka yang obsesional terus berbicara (aktif) agar dapat
membungkam siapa saja selain dirinya, membungkam realitas sebenarnya
yang selalu ingin ia tutup-tutupi (pasif).
Ini sebabnya mengapa aku selalu tersenyum nyinyir ketika
ada orang yang berkata bahwa generasi ini adalah generasi yang bungkam,
generasi yang enggan berbicara lantang. Menurutku itu adalah anggapan
yang naif dan tidak peka sama sekali. Mereka yang kerap berkata seperti
itu bisa kubilang adalah sentimentalis zaman Orde Baru (membencinya,
tapi diam-diam merindukannya), yang masih saja terjebak di masa lalu.
Karena apa yang kulihat dewasa ini justru sebaliknya: generasi ini
adalah generasi yang terlalu mudah untuk angkat bicara dan terlalu mudah untuk bertindak.
Aku sendiri berpikir bahwa, dalam politik
‘progresif-partisipatoris’ seperti sekarang ini, bahayanya terletak
bukan pada pasifitas para partisipan politik (partisipan yang kumaksud
disini tentu menyangkut kita selaku anggota masyarakat), melainkan pada
aktifitas-aktifitas yang sifatnya pseudo, dorongan semu untuk
terus aktif dan berpartisipasi. Setiap orang ingin mengintervensi setiap
waktu, setiap orang ingin mencoba untuk ‘berbuat sesuatu’ (maraknya
portal petisi untuk ‘perubahan’ adalah salah satu dari banyak contoh
yang tidak akan kusebutkan satu persatu disini) dan para akademisi yang
seharusnya dapat menjadi barometer intelektual, malah ikut terus menerus
berpartisipasi dalam debat-debat infantil yang tak berujung (yang
membuat karakter mereka tidak jauh berbeda dengan para intelektual gauchiste
dalam buku Ranciére; mereka yang berperang melawan ‘fantasi’);
kesulitan dalam model masyarakat seperti ini terletak pada keinginan
untuk mengambil sedikit langkah kebelakang, untuk menarik diri kita
dari dorongan untuk sekedar berpartisipasi.
Praise to be the stars that implode. A new freedom opens up within them: annulled from space, exonerated from time, existing, at last, for themselves alone…— Italo Calvino, “Numbers in the Dark and Other Stories” (hal. 262)
Tidakkah pernah terpikir dalam benakmu bahwa mereka yang berkuasa sengaja tidak melakukan apa-apa; atau melakukan sesuatu, tanpa sepenuhnya merubah apa-apa—seolah berpartisipasi dalam kebisuan massal—memilih untuk mengabaikan seruan kita, justru agar kita terpancing untuk sekedar berdialog, untuk bertindak (false activity), untuk memastikan bahwa pasifitas kita tak lagi terpelihara?
Perlu diketahui bahwa disini aku dengan sengaja menyentuh
gagasan Hegel mengenai Ide sebagai wujud absolut (Ruh) yang superior
dari sejarah: dimana Ide tetap berada diluar jangkauan konflik,
membiarkan hasrat manusia bekerja dengan sendirinya dalam pergelutan
bersama (contohnya bagaimana nesesitas historis dalam zaman Romawi kuno,
transisi dari republik menjadi kekaisaran, terealisasi melalui ambisi
dan hasrat Julius Caesar sebagai instrumennya). Ide atau Ruh dalam makna
Hegelian disini termaterialisasi melalui apa yang dinamakan dengan
subyek interaktif: aku pasif melalui the Other (aku bisa tetap pasif, duduk di sofa dengan nyaman, saat the Other
melakukan aktifitasku untukku); anti-tesis dari subyek interpasif yang
telah kujabarkan sebelumnya diatas. Mereka yang berkuasa adalah para
pelaku interaktif, yang duduk pasif dengan nyaman di kursi singgasana
nya (seperti bermain gim virtual), menyaksikan seluruh hasrat dan
ambisinya bekerja dengan sendirinya melalui kita (sebagai the Other; subyek interpasif), seperti sang Arsitek yang mengorkestrasi dunia matrix dalam film fiksi-ilmiah The Matrix.
Inilah alasan mengapa Badiou dan Zizek mengambil langkah
krusial untuk kembali ke Hegel, untuk menguak habis kernel rasional
dalam filsafat Hegel (Zizek melalui Lacan; Badiou melalui Mao), agar
kita dapat memahami sepenuhnya moda dan pola kerja sistematis dari
kondisi masyarakat opresif dan lalu memberikan kita kapasitas untuk
mensubversinya.
Melawan moda interpasif semacam ini, dimana segalanya
telah terinversi, dimana kita dituntut untuk selalu aktif untuk
memastikan agar tidak ada hal yang benar-benar berubah, langkah
kritis pertama yang harus dilakukan adalah untuk menarik diri kembali ke
pasifitas, untuk terus menolak berpartisipasi. Yang harus kutekankan,
menarik diri disini bukan berarti untuk pada akhirnya terlena dalam
pasifitas yang sifatnya dekaden, tetapi lebih untuk memberikan celah
baru agar aktifitas yang sesungguhnya (otentik) benar-benar terjadi,
untuk memberikan celah pada tindakan yang secara efektif dapat
merubah koordinasi dari sebuah konstelasi yang lalim (perubahan yang
sesungguhnya). Dan menurutku, ajakan Zizek jauh terdengar lebih masuk
akal bagiku sekarang: berhenti bertindak, dan mulai berpikir.
Comments
Post a Comment